Digunakan Untuk Apa Social Media-mu?

by - January 04, 2014

“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340) ~ngutip dari websitenya rival saya, Oki Setiana Dewi.

Jangan-jangan pertanyaan yang jadi judul tulisan ini bakal ditanyain juga. Oh enggak. Tidak ada dasarnya. Saya juga enggak mau dituduh merubah hadits. Ya habis, jejaring sosial itu bisa jadi ladang amal atau malah lumbung dosa juga sih.

Sejak kapan fenomena jejaring sosial yang mengangkat pamor internet ini mulai menjamur , tidak tahu pasti. Saya bukan pengamat teknologi. Tapi setuju kan kalau saya bilang gara-gara facebook orang jadi melek internet?

Pagi itu saya iseng buka timeline twitter. Masih mesem-mesem ingin tahu kelanjutan tentang Taman Jomblo. Tanggapannya lucu-lucu. Dan parahnya Kang Emil malah suka nimpalin mention dari warganya itu. Mulai dari pertanyaan apa taman jomblo itu bisa menampung semua jomblo se-Bandung Raya sampai masukan untuk melarang orang berpacaran di Taman Jomblo. Alasannya bukan lantaran pemandangan pacaran itu menganggu atau dilarang agama. Tapi katanya orang yang berpacaran di Taman Jomblo itu serakah. Makan lahan orang. Haduhh. Tapi itu lah jejaring sosial. Setiap orang bebas berpendapat, bahkan bisa langsung disampaikan ke pemimpinnya. Kalau sudah begini, jangan-jangan peran ‘wakil rakyat’ juga bisa diganti dengan jejaring sosial.

Tapi kadang kebebasan ini juga bisa ‘menganggu’ orang lain. Mata saya tidak sengaja membaca twit salah seorang teman ke pacarnya yang juga teman saya. Dan parahnya lagi isi mention itu seolah menandakan kalau mereka sedang bermasalah. Bukan seolah sih. Memang begitu. Orang awam yang tidak kenal mereka saja pasti bisa tahu kalau mereka adalah dua sejoli yang sedang mengalami masalah dalam hubungan mereka. Atau mantan dua orang sejoli yang baru saja putus dan ramai saling menyalahkan. Hadeuhh, mood saya untuk mencari informasi tentang Taman Jomblo jadi turun. Beberapa hari yang lalu juga begitu. Bahkan timeline saya penuh sama ocehan mereka berdua. Apa saya unfollow saja ya dua orang ini? Tidak enak juga. Masalahnya keduanya teman saya. Hadeuhh.

Sejujurnya saya juga pernah mengalami hal serupa. Galau akibat cinta, tugas kuliah, atau sulitnya mencari sesuap nasi. Tapi, teu kitu oge meureun. Meuni nepi ka pasea dina twitter mah. (Tapi, tidak sampai begitu juga kali. Sampai berantem di twitter.) Masih mending kalau yang diposting itu hal yang menyenangkan. Baru dilamar misalnya. Kan yang baca jadi ikut senang dan semakin ingin cepat nikah (*lho?). Seketika juga saya jadi geli sendiri kalau mengingat berapa kali saya update tentang kegundahan hati. Berharap sang penyebab gundah membaca curahan hati dan mau mengerti.  Tapi yang ada sang penyebab gundah itu malah mengejak saya. Katanya “kok facebook udah kaya dinding ratapan. Berhasil tuh orang Y***** bikin wall. Emang bener dipake meratap kok sama yang punya”. Meskipun sempat kesel juga sama ini orang, tapi memang ada benarnya. Dan setelah saya pikir ulang setelah gundah itu tidak lagi muncul. Saya jadi ilfil sendiri.
Pertama, malu lah kalau masalah kita terkespos oleh orang lain. Artis saja tidak mau masalahnya masuk infotainment.
Kedua, masih mending kalau sang penyebab galau itu mengerti. Lahh kalau dia hanya mesem-mesem aja, ketawa, atau malah tersenyum kecut kemudian ilfil. Rugi kita juga. Soalnya kalau saya perhatikan, laki-laki itu cenderung menggunakan pikirannya dibanding perasaannya. Jadi kalau dia membaca postingan seorang perempuan, ya tidak akan berpengaruh terhadap perasaannya. Lain lagi kalau sang penyebab gundah itu laki-laki yang ‘tidak biasa’ ya atau malah laki-lakinya yang ikut gundah seperti yang saya obrolkan di atas.
Memang sepertinya, jejaring sosial itu memunculkan tren baru. Galau rame-rame. Jadi kalau yang lagi galau, sebaiknya hindari jejaring sosial dulu deh. Daripada tambah galau. Mending nonton komedi, baca buku, atau ambil air wudhu terus baca qur’an deh. (Ihh, solehah banget kan saya? Haha)

Sebetulnya memang tidak semua orang menggunakan jejaring sosialnya untuk galau. Beberapa orang yang dulunya menganggap facebook itu bid’ah malah sekarang  mengeroyok facebook sebagai media dakwah. Yang ini positif dibanding yang membuatnya sebagai media galau. Jadi kalau yang lagi galau, buka jejaring sosial, baca postingan dakwah, langsung deh tiba-tiba pengen jadi relawan ke daerah timur tengah (yang ini berlebihan dan rasanya kejauhan).

Ada lagi yang menggunakan sebagai media eksis. Foto sana-sini. Tag tempat sana-sini. Menunjukkan betapa sibuk dan gaulnya diri mereka. Saya juga sempat kok melakukan hal itu untuk beberapa saat. Saat pertama kali mencoba jejaring sosial baru. Tapi lama kelamaan bosan juga. Lagian yang tidak saya habis pikir, sempat-sempatnya mereka update dulu ketika berada di suatu tempat. Menurut saya kemungkinan mereka tidak bisa menikmati kehidupan nyata mereka. Saya saja merasa tidak ada waktu untuk sekedar update atau posting foto kalau sedang berada di suatu  tempat. Mungkin karena saya menikmati lingkungan itu. Setuju? Lebih parahnya dan tidak habis pikir, path malah menyediakan tombol untuk tidur dan bangun. Malah sampai ada komentar segala kalau kita tidur terlalu larut, bangun terlalu siang, atau tidur terlalu sebentar. Kenapa seolah path itu jadi lebih cerewet dari pacar?


Ya sudahlah ya. Kembali pada diri masing-masing saja. Sejujurnya sikap seperti apa pun dalam jejaring sosial yang saya tuliskan di sini, tidak lepas juga dari saya. Maksudnya jangan anggap saya tidak pernah galau atau ngeluh atau posting foto di suatu tempat pada jejaring sosial. Maksud saya ya, setidaknya kita lebih bisa tahu waktu dan menjaga ‘nafsu’ untuk terus-menerus tergantung pada jejaring sosial yang ada di dunia maya. Apalagi sampai lupa pada dunia nyata dan jadi orang yang kurang bermanfaat karena waktunya hanya dihabiskan untuk hal yang kurang ‘penting’. Ini juga masukan untuk saya. Karena kalau waktu libur, tanpa kegiatan, hawa tempat tidur sangat menggoda untuk didiami sambil terus-menerus melototin timeline.

You May Also Like

0 comments